Sebuah harapan
Ada sebuah harapan. Aku yang punya. Harapan yang aku tidak tahu seberapa besar, yang jelas, ada. Harapan itu, harapan yang belum lama lahir setelah aku menyapamu dengan pesan singkat intagram. Kurasa sesuatu seperti ada yang memanggil hatiku dari balik matamu. Sesuatu itu tidak bisa kujelaskan apa, tidak tahu berikutnya apa. Tatapanmu itu ajaib, begitulah aku menyimpulkan.
Dan senyumnu, mengapa aku harus membayangkanya? Jika kalau memiliki dunia, bolehkah senyum itu jadi langitnya?
Dan caramu bicara, aku suka. Aku suka jika kamu bertanya. Pertanyaan-pertanyaanmu itu seperti hadiah, yang kuharap isinya lebih dari sekedar hadiah. Sementara pertanyaan-pertanyaan selalu sedap didengar. Hal-hal kecil yang kau ucapkan, itu istimewa. Bahkan sekadar tawa yang singkat.
Dan kegigihanmu, itu istimewa. Aku terkagum-kagum manakala memperhatikan caramu tidur, nafasmu, bahkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak dapat diterima orang, selain aku. Aku mulai bertanya kepada diri sendiri. Maksudku, ada apa denganku? Bagaimana aku bisa begitu ingin memujimu?
Semua berjalan seperti sesuai rencana, padahal aku tidak ada rencana apa-apa. Mungkin maksudku, semua berjalan sesuai yang kuharapkan. Ada harapan itu. Harapan untuk dapat bertemu lagi, untuk dapat bicara denganmu, untuk mendapat tanyamu lagi, atau hanya untuk mencabut helai demi helai rambut putih ku. Hari demi hari, harapan itu kian bertumbuh. Semakin aku merasa dekat, semakin banyak yang kuharapkan darimu, dan kadang-kadang aku menjadi cemas karena hal itu. Kalau sudah cemas, aku menjadi khawatir. Aku khawatir kecemasan itu membuat harapanku jadi mengganggu. Terutama mengganggumu. Karena kadang, berharap membuatku seperti orang bodoh.
Apakah orang yang bergarap itu bodoh? Tidak, kan? Lalu mengapa aku berpikir seperti itu?
Di benakku, kamu itu sosok yang "WAH". Banyak hati yang berharap kepadamu, aku yakin. Bukan cuma aku.
Kamu itu indah, menyukaimu itu kewajaran, jatuh padamu itu mudah.
Dan aku tidak melihat hal yang serupa di diriku. Seperti tidak ada yang bisa kutawarkan kepadamu selain kekuranganku. Kamu dan aku, rasa-rasanya tidak seimbang. Kamu adalah yang aku puja, dan tidak mungkin sebaliknya. Aku tidak punya kepercayaan diri untuk setidaknya berfikir bahwa kamu sanggup mendengar pengakuanku.
Beginilah adanya, manakala harapan ada didalam diri orang yang tidak yakin, yang tidak punya kepercayaan diri, Jadilah konyol.
Komentar
Posting Komentar